Jumat, 22 Oktober 2010

Profil dan karya Widji Thukul

Wiji Thukul lahir tanggal 23 Agustus 1963 di Solo. Aktif berkesinambungan mulai sejak SMP ketika bergabung dengan Sanggar Teater Jagat. Lulus dari SMP, Thukul melanjutkan studi di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia ) meski hanya sampai kelas II. Disamping aktif berteater, Thukul juga menuli puisi. Puisinya pernah dibacakan di Radio PTPN Solo, dimuat di Muiara, NOVA, Swadesi, Inside Indonesia dan Suara Merdeka. Pergumulannya dengan kesenian kerakyatan semakin mendalam ketika mulai mengembangkan aktivitas kesenian di kampung bersama teman-temannya yang kebanyakan kaum buruh. Dia mulai membaca puisi bukan hanya digedung-gedung kesenian atau kampus, namun juga di bis kota , kampung bahkan di aksi-aksi massa . Kumpulan puisi yang sempat diterbitkan alah “Darman” dan “Mencari Tanah Lapang”. Karya puisinya yang terkenal adalah yang berjudul “Peringatan” yang pada akhir bait puisi berteriaak : ”hanya ada satu kata: Lawan!”


Berikut ini adalah kumpulan puisi dari widji thukul :

Darah Juang

di sini negeri kami tempat padi terhampar luas samuderanya kaya rayata nah kami subur, Tuhan.
di negeri permai iniberjuta rakyat bersimbah luka anak kurus tak sekolah pemuda desa tak kerja
mereka dirampas haknya tergusur dan lapar Bunda, relakan darah juang kami ‘tuk membebaskan rakyat
padamu kami berjanji padamu kami berbakti
‘tuk membebaskan rakyat
Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
aku bukan artis pembuat beritatapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa
puisiku bukan puisitapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan ia tak mati-mati meski bola mataku diganti ia tak mati-mati meski bercerai dengan rumah ditusuk-tusuk sepi ia tak mati-mati telah kubayar yang dia minta umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagihpadaku ia selalu berkata kau masih hidup
aku memang masih utuhdan kata-kata belum binasa
Wiji Thukul.18 juni 1997

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan /apabila engkau memaksa diam /aku siapkan untukmu :  pemberontakan!

Bunga dan Tembok
seumpama bungakami adalah bunga yang takkau hendaki tumbuhengkau lebih suka membangunrumah dan merampas tanah
seumpama bunga kami adalah bunga yang takkau kehendaki adanya engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi
seumpama bunga kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri
jika kami bunga engkau adalah tembok itutapi di tubuh tembok itutelah kami sebar biji-biji suatu saat kami akan tumbuh bersamadengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kamidi manapun-tirani harus tumbang!
Peringatan
jika rakyat pergiketika penguasa pidatokita harus hati-hatibarangkali mereka putus asa
kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat berani mengeluhitu artinya sudah gawatdan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamananmaka hanya ada satu kata: lawan!

Sampai di Luar Batas
kau lempar aku dalam gelap hingga hidupku menjadi gelapkau siksa aku sangat keras hingga aku makin mengeraskau paksa aku terus menunduk tapi keputusan tambah tegak darah sudah kau teteskan dari bibir kuluka sudah kau bilurkan ke sekujur tubuhku cahaya sudah kau rampas dari biji mataku derita sudah naik seleher kau menindas sampai di luar batas
Wiji Thukul,17 November 1996

Seorang Buruh Masuk Toko
masuk toko yang pertama kurasa adalah cahaya yang terang benderang tak seperti jalan-jalan sempit di kampungku yang gelap sorot mata para penjaga dan lampu-lampu yang mengitariku seperti sengaja hendak menunjukkan dari mana asalku aku melihat kakiku – jari-jarinya bergerak aku melihat sandal jepitku aku menoleh ke kiri ke kanan – bau-bau harumaku menatap betis-betis dan sepatubulu tubuhku berdiri merasakan desir kipas angin yang berputar-putar halus lembut badanku makin mingkup aku melihat barang-barang yang dipajangaku menghitung-hitung aku menghitung upahku aku menghitung harga tenagaku yang menggerakkan mesin-mesin di pabrikaku melihat harga-harga kebutuhandi etalaseaku melihat bayanganku makin letihdan terus diisap
10 September 1991

Bukan Kata Baru
ada kata baru kapitalis, baru? Ah tidak, tidaksudah lama kita dihisapbukan kata baru, bukankita dibayar murahsudah lama, sudah lamasudah lama kita saksikanburuh mogok dia telpon kodim, pangdamdatang senjata sebataliyon kita dibungkam tapi tidak, tidak dia belum hilang kapitalis dia terus makan tetes ya tetes tetes keringat kita dia terus makan sekarang rasakan kembali jantung yang gelisah memukul-mukul marah karena darah dan otak jalan kapitalis dia hidup bahkan berhadap-hadapankau aku buruh mereka kapitalis sama-sama hidupbertarungya, bertarung sama-sama?tidak, tidak bisa kita tidak bisa bersama-sama sudah lama ya sejak mula kau aku tahu berapa harga lengan dan otot kau aku kau tahu berapa upahmu kau tahu jika mesin-mesin berhenti kau tahu berapa harga tenagamu mogoklah maka kau akan melihat dunia mereka jembatan ke dunia barudunia baru ya dunia baru.
Tebet 9/5/1992

Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI
berlima dari solo berkereta api kelas ekonomi murah tak dapat kursi melengkung tidur di kolong pas tepat di kepala kami bokong-bong kiri kanan telapak kaki tas sandal sepatutak apa di pertemuan ketemu lagi kawandari krawang-bandung-jakarta-jogya-tangerang buruh pabrik plastik, tekstil, kertas dan macam-macam datang dengan satu soal dari jakarta pulang tengah malam dapat bis rongsok pulang letih tak apa diri telah ditempa sepanjang jalan hujan kami jongkok tempat duduk nempel jendelabocor, bocor sepanjang jalan tangan terus mengelapi agar pakeyan tak basah dingin dingin tapi tak apadiri telah ditempa kepala dan dada masih penuh nyanyi panas hari depan buruh di tangan kami sendiri bukan di mulut politikus bukan di meja spsi
Solo 14 Mei 1992

Penyair
“jika tak ada mesin ketik aku akan menulis dengan tangan jika tak ada tinta hitamaku akan menulis dengan arang jika tak ada kertasaku akan menulis pada dinding jika aku menulis dilarangaku akan menulis dengan tetes darah! sarang jagat teater”
19 januari 1988

Apa Yang Berharga dari Puisiku
apa yang berharga dari puisiku kalau adikku tak berangkat sekolah karena belum membayar uang spp
apa yang berharga dari puisiku kalau becak bapakku tiba-tiba rusak jika nasi harus dibeli dengan uang jika kami harus makan dan jika yang dimakan tidak ada?
apa yang berharga dari puisiku kalau bapak bertengkar dengan ibu, ibu menyalahkan bapak padahal becak-becak terdesak oleh bis kota kalau bis kota lebih murah siapa yang salah
apa yang berharga dari puisiku kalau ibu dijeret utang kalau tetangga dijiret uang?
apa yang berharga dari puisiku kalau kami terdesak mendirikan rumah di tanah pinggir-pinggir selokan sementara harga tanah semakin mahal kami tak mampu membeli, salah siapa kalau kami tak mampu beli tanah
apa yang berharga dari puisikukalau orang sakit mati di rumah karena rumah sakit yang mahal?
apa yang berharga dari puisiku yang kutulis makan waktu berbulan-bulan apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
apa yang telah kuberikan kalau penonton baca puisiku memberi keplokan apa yang telah kuberikan apa yang telah kuberikan
Wiji Thukul, Maret 1986

Warsini !Warsini !apa kamu sudah pulang kerja Warsin iapa kamu tak letih seharian berdiri di pabrikini sudah malam Warsini apa celana dan kutangmu digeledah lagi karena majikanmu curiga kamu membawa bungkusan moto
atau apakah kamu mampir di salon lagi berapa utangmu minggu ini apa kamu bingung hendak membagi gaji
ayolah warsini kawan-kawan sudah datang kita sudah berkumpul lagi disini kita akan latihan drama lagi ayolah Warsini
kamu nanti biar jadi mbok bodongsi Joko biar menjadi rentenirnya jangan malu warsini jangan takut dikatakan kemayu kamu tak perlu minder dengan pekerjaanmu biar kamu Cuma buruh dan sd saja tak tamat
ayolah Warsini mas Yanto juga tak sekolah Warsini iapun Cuma tukang plintur, mami juga tak sekolah kerjanya mbordir sapu tangan di rumah , Wahyuni juga tidak sekolah bapaknya tak kuat bayar uang pangkal sma partini penjahit pakaian jadi di perusahaan milik tante Lili kita sama sama tak sekolah Warsini
ayolah Warsini ini sudah malam Warsini ini malam minggu warsin ikami sudah menunggu di sini
Surakarta 9/1986

Balada pak Bejo
Pak bejo membentak bininya “hari ini sepi! Mbok bejo tak mau kalah: “anak-anak minta baju seragam! Pak bejo juga: “aku sudah keliling kota aku sudah kerja keras tapi kalah dengan bis kota hari ini aku cuma dapat uang setoran”
mbok bejo tak mau mendengar mbok bejo tetap marah mbok bejo terus ngomel!
Pak bejo kesal nyaut sarung kabur ke warung nenggak ciu-berkonang minum segelas lalu sehelas lagi kemudian hanyut bersama gending sarung jagung bersama pak Kromo bersama pak Wiryo bersama pak Kerto njoget tertawa mabuk benak yang sumpeg dikibaskan lepas bebas lupa anak lupa hutanglupa sewa rumah lupa bayaran sekolah lepas bebas lenggak-lenggok gumpalan awan bersama bintang-bintang
ketika bulan miring Pak bejo mendengkur didepan pintu sampai terang pagilalu istrinya melotot lagi
Solo, Juli 88

Nyanyian Akar Rumput
jalan raya dilebarkan kami terusir mendirikan kampung digusur kami pindah-pindah menempel ditembok-tembok dicabut terbuang.
kami rumput butuh tanah dengar! ayo gabung ke kami biar jadi mimpi buruk presiden!

Ibu
jika kau menagih baktiku itu sudah kupersembahkan ibu  waktu hidup tak kubiarkan beku itulah tanda baktiku kepadamu
gula dan teh memang belum kuberikan tetapi nilai hidup adakah di dalam nasi semata
apakah anak adalah tabungan bisa sesuka hati dipecah kapan saja apakah kelahiran cuma urusan untung dan laba tumpukan budi yang harus dibayar segera
jalan mana harus ditempuh anak jika bukan yang biasa dan sudah dipilih oleh yang berjalan itu sendiri

E d a n
sudah dengan cerita Mursilah? edan! dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang padahal mukena tak dibawa pulang padahal mukena dia taroh di tempat kerja edan! sudah diperas dituduh maling pula
sudah dengan cerita santi? edan! karena istirahat gaji dipotong edan! karena main kartu lima kawannya langsung dipecat majikan padahal tak pakai wang padahal pas waktu luang edan! kita mah bukan sekrup

Leuwigajah
Leuwigajah berputar dari pagi sampai pagi jalan-jalan gemetar debu-debu membumbung dari knalpot kendaraan pengangkut
mesin-mesin terus membangunkan buruh-buruh tak berkamar-mandi tidur jejer berjejer alas tikar tanpa jendela tanpa cahaya matahari lantai dinding dingin lembab pengap
lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi – upah rendah jari jempol putus – kecelakaan-kecelakaan kencing dilarang – sakit ongkos sendiri mogok? pecat! seperti nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda terus mengalir ke Leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah satu kali dua puluh empat jam masuk – absen – tombol ditekan dan truk-truk pengangkut produksi meluncur terus ke pasar
Leuwigajah tak mau berhenti dari pagi sampai pagi cerobong asap terus mengotori langit limbah mengental selokan berwarna
Leuwigajah terus minta darah tenaga mudaLeuwigajah makin panasberputar dan terus mengurastenaga-tenaga murah
Bandung-Solo 21 Mei – 16 Jun

Leuwigajah Masih Haus
leuwigajah tak mau berhenti dari pagi sampai pagi bis-bis-mobil pengangkut tenaga murah bikin gemetar jalan-jalan dan debu-debu tebal membumbung
mesin-mesin tak mau berhenti membangunkan buruh tak berkamar-mandi tanpa jendela tanpa cahaya matahari jejer berjejer alas tikarlantai dinding dingin lembab pengap
mulut lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus bercerita buruk lembur paksa sampai pagi tubuh mengelupas-jari jempol putus – upah rendah mogok – pecat seperti nyabuti bulu ketiak
tubuh-tubuh muda terus mengalis ke leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah satu kali dua puluh empat jam masuk – absen – tombol ditekan dan truk-truk pengangkut produksi meluncur terus ke pasar
leuwigajah tak mau berhenti dari pagi sampai pagi
asap crobong terus kotor selokan air limbah berwarna mesin-mesin tak mau berhenti terus minta darah tenaga muda
leuwigajah makin panas berputar dan terus menguras

Bandung 21 Mei 1992
”begitu panjang riwayat bangsa tetapi hati ini kita baru pandai memuja masa lalu, mengelus-elus borobudur mendewakan nilai semu”

Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair, Mei 1985
demi hutan air ibu bumi kami gagah berani kakek nenek kami menyerahkan riwayatnya pada batang –batang pohon sebesar seratus dekapan pada sampan-sampan lincah dari hulu ke hilir memburu dada penjajah bukan siapa-siapa kakek nenek kamilah yang merebut tanah air tanyakan kepada yang mampu membaca tanyakan kepada yang tak berpura-pura siapa…..
dizaman kerja paksa rakyat membikin anyer panarukan dengan air mata bangkainyadi zaman romusha jepang menanam kapas dengan tangan rakyat kita dalan dua perang dunia tak tahu apa-apapada upacara kemerdekaan bangsa kita selalu kita sebutnama-nama agung tetapi sejarah tahu berapa juta ember darah siapa ditenggak sudah hidup hari ini

Catatan, tanpa tahun
gerimis menderas tengah malam inidingin dari telapak kaki hingga ke sendi-dendi dalam sunyi hati menggigit lagi ingat saat pergi dan pipi kanan muku cium tak sempat mencium anak-anak khawatir membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak) bertanya apa mereka saat terjaga akau tak ada (seminggu sudah itusebulan sesudah itudan ternyata lebih panjang dari dari yang kalian harapkan) dada mengepal perasaan waktu itucuma terbisik beberapa patah katadi depan pintu kau lepas aku meski matamu tak terima karena waktu sempitaku harus gesit
genap ½ tahun aku pergiaku masih bisa merasakanbergegasnya pukulan jantung dan langkahku karena penguasa fasis yang gelap mata
aku pasti pulang mungkin tengah malam ini, mungkin subuh hari pasti dan mungkin tapi jangan kau tunggu…
aku pasti pulang dan pasti pergi lagi karena hak telah dikoyak-koyak tidak di kampus tidak di pabrik tidak di pengadilan bahkan rumah pun mereka masuki ,muka kita sudah diinjak.
kalau kelak anak-anak bertanya mengapa dan aku jarang pulang katakan ayahmu tak ingin jadi pahlawan tapi di paksa menjadi penjahat oleh penguasa yang sewenang-wenang kalau mereka bertanya “apa yang kau cari?” jawab dan katakan dia pergi untuk merampok haknya yang dirampas dan dicuri

catatan, 15 Januari 1997
bulan malam membuka mataku merambati wuwungan rumah-rumah bambu yang rendah dan yang miring di muka parit yang suka banjir membayanglah masa depan rumah-rumah bambu yang rendah dan yang miring lentera minyak  gemetar merabamu penggembara oh penggembara yang nyenyak bulan malam menggigit batinku mulutnya lembut seperti pendeta tua menggulurkan lontaran nasib mu o tanah-tanah yang segera rata berubahlah menjadi pabrik-pabriknya kita pun kembali bergerak seperti jamur liar di pinggir-pinggir kali menjarah tanah-tanah kosong mencari tanah pemukiman disini beranak cucu melahirkan anak suku-suku terasing yang akrab dengan peluh dan matahari di tanah negri ini milikmu cuma tanah air
Di Tanah Negeri ini Milikmu Cuma Tanah Air, tanpa tahun
kamu memang punya tanktapi salah besar kamukalau karena ituaku lantas manutandai benar ada kehidupan lagi nanti setelah kehidupan ini maka akan kuceritakan kepada semua makhluk bahwa sepanjang umurmu dulu telah kuletakkan rasa takut itu ditumitku dan ku habiskan hidupku untuk menentangmu hei penguasa zalim

Puisi sikap, 24 Januari 1997
kau adalah kemarau panjangyang hanya membawa kematiankepada daun, bunga, danikan-ikan di sungaikampung tercinta
karena kau adalah kemaraumaka airmata kami akanmenggenangi bumijadi embunnaik ke langit, jadi awan-awandan dengarlah gemuruh kamisebagai hujan turun
mengusirmu dari sini!

Darman
desa yang tandus ditinggalkannya kota yang ganas mendupak nasibnya tetapi ia lelaki perkasa kota keras hatinya pun karang bergulat siang malam Darman kini lelaki perkasa masa remaja belum habis direguknya Tukini setia terlanjur jadi binin  yakini Darman digantungi lima jiwa Darman yang perkasa kota yang culas tidak akan melampus hidupnya tetapi kepada tangis anak-anaknya tidak bisa menulikan telinga lelaki, ya Darman kini adalah lelaki perkasa, ya Darman kini adalah lelaki perkasa ketika ia dijebloskan ke dalam penjaraTukini setia menangisi keperkasaannya
ya merataplah Tukini di dalam rumah yang belum lunas sewanya di amben bambu wanita itu tersedu sulungnya terbaring diserang kolera
Tukini yang hamil buncit perutnyanyawa di kandungan anak kelima

Inside Indonesia, no.12 Oktober 1987
Jakarta simpang siur ormas-ormas tiaraptiap dengar berita pasti ada aktivis ditangkap
telepon-telepon disadap koran-koran disumbatrakyat was-was dan pengap
diam-diam orang cari informasi dari radio luar negeri
“jangan percayapada berita mass media cetakdan elektronika asing!”
Penguasa berteriak-teriak setiap hari nasionalismenya mirip-mirip Nazi

Agustus 1996
kekuasaan yang sewenang-wenang membuat rakyat selalu berjaga-jaga dan tak bisa tidur tenang sampai mereka sendiri lupa batas usianya tiba
dan dalam diamnyarakyat ternyata bekerjamenyiapkan liang kuburnya lalu mereka bersorak
ini kami siapkan untukmu tiran!
penguasa yang lalimketika mati tak ditangisi rakyatnya
sungguh memilukan kematian yang disyukuri dengan tepuk tangan
11 Agustus 1996

para jendral marah-marah
pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. tapi aku tidur. Istriku yang menonton. istriku kaget.  Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.
dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya. dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa? hanya beberapa patah kata keluar dari mulutnya: “Namamu di televisi…”kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti. aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.
setelah menjemur handuk aku ke dapur. seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. seperti biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil.
istriku sudah mandi pula.  Ketika berpapasan denganku kembali
kalimat itu meluncur, “namamu di televisi…”ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bau kekejaman kekuasaan itu daripada aku.

12 Agustus 1996
wani bapakmu harus pergi kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi jawab saja:“karena bapakku orang berani”
kalau nanti ibu didatangi polisi lagi menangislah sekuatmu biar tetanggamu kanan-kiri datang dan mengira ada pencuri masuk rumah kita

Sajak Suara
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam mulut bisa dibungkamnamun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku?!
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diamaku siapkan untukmu:  pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah harta mulia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?!
sesungguhnya suara itu akan menjadi kataialah yang mengajari aku bertanyadan pada akhirnya tidak bisa tidakengkau harus menjawabnya apabila engkau tetap bertahan aku akan memburumu seperti kutukan!

Tujuan Kita satu Ibu
kutundukkan kepalaku,bersama rakyatmu yang berkabung bagimu yang bertahan di hutan dan terbunuh di gunung di timur sana
di hati rakyatmu, tersebut namamu selalu di hatiku aku penyair mendirikan tugu meneruskan pekik  salammu“a luta continua.”
kita tidak sendirian kita satu jalan tujuan kita satu ibu pembebasan!
Kutundukkan kepalaku kepada semua kalian para korban sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk kepada penindas tak pernah aku membungkukaku selalu tegak.
4 Juli 1997

Sajak Ibu
ibu pernah mengusirku minggat dari rumahtetapi menangis ketika aku susah, ibu tak bisa memejamkan mata bila adikku tak bisa tidur karena lapar, ibu akan marah besarbila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami, ibuku memberi pelajaran keadilan dengan kasih sayang ketabahan ibuku mengubah sayur murah jadi sedap……dengan kebajikan ibu mengenalkanku kepada Tuhan.

Kucing,  Ikan Asin dan Aku
seekor kucing kurus menggondol ikan asin laukku untuk siang ini aku meloncat kuraih pisau biar kubacok  ia biar mampus
ia tak laritapi mendongak menatapku tajam
mendadak lunglai tanganku-aku melihat diriku sendiri!
lalu kami berbagi kuberi ia kepalanya (batal nyawa melayang) aku hidup ia hidupkami sama-sama makan

Buron
baju lain celana lain potongan rambut lain buku yang dibaca lain bahan percakapan lain nama lain identitas lain ekspresi lain menjadi diri sendiri adalah tindakan subversidi negeri ini maka selalu siaga polisi, tentara, hukum dan penjara. bagi siapa saja yang menolak menjadi orang lain
20 September 1996

Makin Terang Bagi Kami
tempat pertemuan kami sempit bola lampu kecil cahaya sedikit tapi makin terang bagi kam itangerang – solo – jakarta kawan kami
kami satu :  buruh kami punya tenaga
tempat pertemuan kami sempit di langit bintang kelap-kelip tapi makin terang bagi kami banyak pemogokan di sana-sini
tempat pertemuan kami sempit tapi pikiran ini makin luas, makin terang bagi kami kegelapan disibak tukar-pikiran
kami satu : buruhkami punya tenaga
tempat pertemuan kami sempit tanpa buah cuma kacang dan air putih tapi makin terang bagi kami kesadaran kami tumbuh menyirami
kami satu : buruh kami punya tenaga
jika kami satu hatikami tahu mesin berhenti sebab kami adalah nyawa yang menggerakkannya
Bandung 21 Mei 1992

Satu Mimpi Satu Barisan
di lembang ada kawan sofyan jualan bakso kini karena dipecat perusahaan karena mogok karena ingin perbaikan karena upah ya karena upah
di ciroyom ada kawan sodiyah si lakinya terbaring di amben kontrakan buruh pabrik teh terbaring pucet dihantam tipesya dihantam tipes juga ada neni kawan bariah bekas buruh pabrik kaos kaki kini jadi buruh di perusahaan lagi dia dipecat ya dia dipeca tkesalahannya : karena menolak diperlakukan sewenang-wenang
di cimahi ada kawan udin buruh sablon kemarin kami datang dia bila ngumpama dironsen pasti nampak isi dadaku ini pasti rusak karena amoniak ya amoniak
di cigugur ada kawan siti punya cerita harus lembur sampai pagi pulang lunglai lemes ngantuk letih membungkuk 24 jamya 24 jam
di majalaya ada kawan eman buruh pabrik handuk dulu kini luntang-lantung cari kerjaan bini hamin tiga bulan kesalahan : karena tak sudi terus diperah seperti sapi
di mana-mana ada sofyan ada sodiyah ada bariyah tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan di mana-mana ada neni ada udin ada siti di mana-mana ada eman di bandung – solo – jakarta – tangerang  tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan.

Bandung 21 Mei 1992
apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu di mana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong . . .
. . . sajakkuadalah kebisuan yang sudah kuhancurkan sehingga aku bisa mengucapkandan engkau mendengarkan sajakku melawan kebisuan

Disaat akan Pemilu
satu, dua ataupun tiga semua sama bohongnya, milih boleh, tidak memilih boleh, jangan memaksa, itu hak gue Satu, Dua dan Tiga, Wiji Thukul, 1992
ya,ya  Bagong namanya,  pemilu kemarin besar jasanya Bagong ya Bagong,  tapi Bagong sudah mati, pada suatu pagi, mayatnya ditemukan di tepi rel kereta api… Sajak Bagong
di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh, terhisap dan menanggung hutang di sini,  gali-gali,  tukang becak, orang-orang kampung, yang berjasa dalam setiap pemilu terbaring, dan keadilan masih saja janji Kuburan Purwoloyo
kudengar dari mulut seorang kawanku, dia diinterogasi dipanggil gurunya, karena ikut kampanye PDI, dan di kampungku ibu RT tak mau menegur sapa warganya hanya karena ia GOLKAR
ada juga kontestan yang nyogok tukang-tukang becak, akibatnya dalam kampanye banyak yang mencak-mencak
di radio aku mendengar berita-berita tapi aku jadi muak karena isinya kebohongan yang tak menyatakan kenyataan,untunglah warta berita segera bubar, acara yang kutungu-tunggu dating:  dagelan!Aku Lebih Suka Dagelan
kami tak percaya lagi pada itu, partai politik, omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang, mengawang jauh dari kami punya persoalan bubarkan saja itu komidi gombal, kami ingin tidur pulas, utang lunas, betul-betul merdeka, tidak tertekan, Tegasnya = aku menuntut perubahan! Aku Menuntut Perubahan, 1992
Bila tiba harinya, hari coblosan Aku tak akan ikut berbondong-bondong Ke tempat pemungutan suara, Aku tidak akan dating, Aku tidak akan menyerahkan suaraku, Aku tidak akan ikutan masuk ke dalam kotak suara itu, Pemilu O pilu pilu Hari Ini Aku Akan Bersiul-Siul

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India